Fenomena “Uttaran” dan Tersanjung dalam Perspektif Neurosains (Ilmu Otak) Fenomena “Uttaran” dan Tersanjung dalam Perspektif Neurosains (Ilmu Otak) | Kabar Terbaru

Fenomena “Uttaran” dan Tersanjung dalam Perspektif Neurosains (Ilmu Otak)

Fenomena “Uttaran” dan Tersanjung dalam Perspektif Neurosains (Ilmu Otak) - Hallo teman-teman pembaca Kabar Terbaru, Pada sharing kali ini yang berjudul Fenomena “Uttaran” dan Tersanjung dalam Perspektif Neurosains (Ilmu Otak), saya telah menyediakan informasi lengkap tentang Informasi Islam dan Sains dengan lengkap tentang Fenomena “Uttaran” dan Tersanjung dalam Perspektif Neurosains (Ilmu Otak) yang ada dari awal sampai akhir. mudah-mudahan isi postingan Fenomena “Uttaran” dan Tersanjung dalam Perspektif Neurosains (Ilmu Otak) yang saya tulis ini dapat anda pahami. Okelah kalau begita kalian bisa langsung saja simak tulisan saya ini.

HOME

, ,

Fenomena “Uttaran” dan Tersanjung dalam Perspektif Neurosains (Ilmu Otak) - Kabar Terbaru

Fenomena film drama seri India Uttaran sungguh luar biasa. Dampak film ini telah “meracuni” pikiran,emosi dan  kewarasan pemirsa di Indonesia. Tak heran jika di manapun dan kapanpun film yang kalau dalam bahasa Indonesia berarti bekas/sumbangan/buangan ini selalu menjadi topik pembicaraan menarik dan memacu emosi di kalangan masyarakat khususnya ibu-ibu. Bisa dipastikan kapanpun dan di manapun ibu-ibu berkumpul, di warung, di toko, di kantor, sekolah, saat pengajian, menunggu anak sekolah, salah satu topik pembicaraan mereka adalah seputar film ini.

Film yang entah kapan berakhirnya ini (di India film ini ditayangkan dalam jangka waktu tujuh tahun dengan 1549 episode), memiliki daya magis yang luar biasa. Ceritanya yang klasik tentang pertemanan anak pembantu dengan anak juragannya yang berujung pada perebutan seorang laki-laki, sosok Ichcha gadis miskin yang tertindas tapi tetap tegar, Tapasya si antagonis utama, egois, manja dan menghalalkan segala cara, ditambah eksekusi yang maha lebay (didramatisir) -Lihatlah bagaimana adegan Ichcha melabrak Tapasya soal menukar surat yang dikirimnya untuk Vansh, misalnya, memakan waktu hampir setengah jam. Bagaimana tidak, setiap selesai mengucapkan dialog, kamera menyorot pemilik dialog, kemudian zoom-in ke wajah lawan bicaranya dengan efek seperti kilat. Kadang dilanjutkan dengan kamera berputar mengitari tubuh pemain lengkap dengan ilustrasi musik gedombrengan - telah berhasil mengaduk-aduk emosi pemirsa. Orang bisa menangis tersedu-sedu, menjerit, marah, mengumpat, kesal, kecewa dan gelisah ketika atau setelah menyaksikan film ini. Bahkan, orang bisa stres, tidak bisa tidur, lupa makan, lupa anak, lupa suami, lupa pekerjaan hanya karena memikirkan kisah Ichcha dan nasibnya. Setidaknya itulah yang saya tangkap dari obrolan ibu-ibu di lingkungan saya.

Kalau kita flashback ke masa 20 tahun silam, Anda yang lahir tahun 80–90an tentu ingat dengan sinetron fenomenal Tersanjung. Sinetron yang  tayang hampir sama dengan serial Uttaran sekitar 7 tahunan ini menjadi idola dan paling ditunggu oleh pecinta sinetron kala itu. Jalan cerita yang panjang, penuh intrik dan dikemas dengan adegan dramatis telah mampu menyihir para pemisa. Dan yang paling menakjubkan sinetron ini mampu mempengaruhi kondisi ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia waktu itu. Lihatlah bagaimana fenomena kaos tersanjung, topi tersanjung, dan berbagai aksesoris bertemakan tersanjung menjadi trend dan laris manis dijual di pasaran. Lihat pula bagaimana anak-anak seusia saya waktu itu , sangat mengidolakan para pemeran sinetron Tersanjung. Pemeran utama sinetron Tersanjung seperti Ari Wibowo dan Lulu Tobing selalu menjadi buruan dan rebutan kami saat bermain peran-peranan. Tak jarang pertengkaran kecil terjadi di antara kami hanya karena berebut kedua nama artis ini. Saya akan sangat bangga menyebutkan nama Ari Wibowo sebagai referensi utama, sehingga nama Amiruddin berubah menjadi Amir Wibowo. Dan  sebagai cadangan tentu saja saya tempatkan nama aktor ganteng kelahiran Papua, berhidung mancung, berambut klimis siapa lagi kalau bukan Jeremi Teti, upsss salah Jeremi Thomas sebagai rujukan. Jika kalah suit dengan teman lain yang menginginkan nama Ari Wibowo, terpaksa Amir Thomas menjadi pilihan.

Lalu bagaimana ilmu otak (neurosains) memandang fenomena ini?


Sistem saraf yang terdiri dari otak dan jaringan saraf memiliki tugas pokok sebagai sistem yang membuat hidup jadi bermakna. Selain itu, sistem saraf juga berfungsi untuk mengatur, mengendalikan, dan mengoperasikan seluruh organ serta sistem tubuh yang menunjang kehidupan.
Fungsi sistem saraf berikutnya yang tidak kalah penting adalah sebagai pusat pengaturan sikap kita menghadapi perubahan lingkungan, hubungan sosial, berkomunikasi dan proses belajar. Bagaian sistem saraf yang memainkan peran ini didominasi oleh sebuah sistem yang disebut sistem limbik. Sistem limbik ini terdiri dari beberapa bagian yang setiap bagiannya memiliki fungsi khusus dan vital, antara lain girus singulata, badan amigdala, dan hipokampus.

Girus singulata yang berfungsi sebagai penghubung antara bagian pengatur emosi pada sistem limbik dengan bagian yang mengatur kecerdasan kognitif pada kulit otak. Bagian lain dari sistem limbik adalah badan amigdala yaitu sekumpulan sel neuron yang berfungsi sebagai penerima utama data rangsangan yang berasal dari indera penglihatan dan pendengaran. Rangsangan pada daerah amigdala dapat menimbulkan sensasi ketakutan dan ketertarikan pada lawan jenis serta reaksi kemarahan atau kegemaran terhadap suatu kedaan. Dan bagian terakhir yang tak kalah pentingnya adalah hipokampus. Hipokampus berperan sebagai pusat pemilihan data rangsangan yang akan diolah oleh otak. Data yang penting akan dipertimbangkan untuk menjadi bagian struktur memori, sedangkan yang tidak penting tidak akan diproses lebih lanjut.

Otak kita juga dilengkapi dengan cairan ajaib yang bernama neurotransmitter yang berfungsi sebagai penghubung antar sel-sel otak sekaligus dapat mempertimbangkan proses terbaik bagi kerja otak. Cairan ini dalam satu kondisi  dapat memperkuat sinyal rangsangan dan pada kondisi lain, ia dapat menghambat sinyal rangsangan. Kemampuan inilah yang kemudian dapat mengembangkan sikap peka dan pembiasaan.

Pada kasus film Uttaran dan Tersanjung, otaklah yang menjadi biang keladinya. Kisah cinta yang romantis, dramatis, mengandung tragedi, dan hubungan emosi yang tak terduga atau spektakuler yang disuguhkan oleh kedua film ini akan merangsang sistem neuroendokrin kita untuk menghasilkan endorfin, dofamin, serotonin dan efinefrin. Kuartet maut neurotransmitter ini mampu menghidupkan kebahagiaan dunia. Jika orang-orang untuk menghidupkan kabahagiaan dunia sesaat sering mengambil jalan salah dengan mengonsumsi barang terlarang narkoba, sesungguhnya otak telah didesain untuk menghasilkan morfinnya sendiri yaitu endorfin. Subhanallah! Perasaan senang dan efek  ketagihan yang dihasilkan oleh neurotransmitter ini kemudian menyebabkan kita akan merindukan dan menantikan drama serta kisah selanjutnya, padahal sebelumnya kita sangat kesal dan bersumpah tidak mau menonton lagi. Bahkan efek ketagihan ini akan menimbulkan sikap penasaran, maka tidak aneh bagi pemirsa yang tidak sabar untuk mengetahui jalan cerita selanjutnya atau akhir kisahnya browsing sinopsis di internet atau menonton via youtube menjadi jalan terbaik.

Kisah maha dramatis dan tragedi yang maha tragis yang disajikan kemudian mengguncang amigdala pada sistem limbik kita, juga nukleus kaudatus, dan nukleus talamikus. Selanjutnya, jika kesenangan otak tadi ternyata menjanjikan kesenangan-kesenangan lanjutan yang lebih wow, maka sistem otak kita akan menyimpannya baik-baik di dalam hipokampus. Sementara efek dramatis berupa kesedihan, kemalangan  akan disimpan di dalam korpus amigdala.

Untuk mempertahankan kenyamanan dan “membohongi” bagian otak lainnya tentang sebuah kondisi semu (tidak nyata) diperankan oleh Ascending Reticular Activation System (ARAS) dari batang otak, pons, sistem limbik, talamus, dan lobus frontalis. Pada saat kita memelototi TV, memainkan tokoh rekaan yang merupakan representasi imajinasi kita, bagian-bagian otak mengontrol proses mendengar, berbahasa, dan mengambil keputusan seolah kita terlibat aktif dan memerankan kehidupan pemeran serial TV. Kita merasa diri kita adalah Ichcha dalam film Uttaran dan Indah dalam sinetron tersanjung. Pantaslah kiranya jika pemirsa akan meneteskan air mata saat “dirinya” disiksa, ditipu, dibohongi, dan didzalimi. Wajar pula jika sebagaian pemirsa akan menghujat, mencela, bahkan mencemooh para pemeran antagonis sebagai orang tak berperasaan, tak punya hati dan tak tahu balas budi. Kita lupa bahwa itu semua hanya sebuah sekenario sutradara semata.

Lalu bagaimana dampak lanjutannya? Ingatlah! Otak bersifat plastis dan pandai menyesuaikan diri dengan metode latihan yang diterapkan. Jika otak dilatih untuk mengingat atau menghapal jadilah otak yang cerdas menghapal. Jika otak dilatih untuk tanggap dengan lingkungan, jadilah otak yang tanggap dengan lingkungan. Demikian pula dengan otak yang dibiasakan dengan tontonan seperti ini, jadilah kita pribadi-pribadi dengan jalur produksi kognitif yang sempit dan sulit mengolah data sensori yang sesungguhnya karena otak dibiasakan dengan hal-hal yang tidak nyata. Lihatlah ibu-ibu bisa menjadi tak peduli dengan lingkungannya, lupa mengurus anak, pekerjaan, dan bahkan suami.

Menonton tayangan televisi untuk hiburan wajar dilakukan. Namun, pemilihan program yang sesuai dan layak dikonsumsi keluarga -terutama anak-anak kita- dan tidak berlebihan bijak untuk dilakukan. Terlebih jika kesenangan pribadi justru melupakan kewajiban kita terhadap anak, isteri, suami dan terutama terhadap Allah SWT. 

Saya tidak bermaksud mendiskriminasi tayangan televisi Uttaran, mengingat tayangan lain pun yang sejenis termasuk sinetron asli Indonesia jauh dari kata layak dikonsumsi oleh masyarakat. Cerita penindasan orang kaya terhadap orang miskin,  penderitaan yang tak kunjung usai yang dialami Ichcha, sifat egois Tapsya, manja dan menghalalkan segala cara tentu sedikit banyaknya akan mempengaruhi mental penonton terutama anak-anak dan remaja. Tidak menutup kemungkinan dalam pikiran mereka terbentuk persepsi salah tentang orang baik. Orang baik identik dengan penderitaan dan kemalangan yang tak berujung. Giliran mendapatkan kesenangan, eh filmnya selesai. Kapan orang baik menikmati kebahagiaannya. Sementara orang jahat selalu mendapatkan kebaikan dan keberuntungan, walaupun pada akhirnya mereka akan mendapatkan karmanya. Tapi cukup dengan minta maaf dan bertobat beres urusan. Begitu mudahnya.


Kita adalah sensor terbaik untuk anak-anak kita. Semoga tulisan ini bisa mencerahkan kita semua.

Silahkan baca juga artikel terkait di bawah ini!

Kartini Doeloe Kini dan Nanti
Mengintip Isi Surat Cinta R.A Kartini
Melacak Kebenaran Isra Mi'raj dengan Teori Relativitas dan Teori Dimensi


Sekianlah Articel Fenomena “Uttaran” dan Tersanjung dalam Perspektif Neurosains (Ilmu Otak)

Demikian artikel dari kami tentang Fenomena “Uttaran” dan Tersanjung dalam Perspektif Neurosains (Ilmu Otak), mudah-mudahan bisa memberi informasi dan manfaat untuk anda semua. Baiklah Kabar Terbaru cukup sampai disni dulu postingan saya kali ini terima kasih telah mampir.

Kalian sedang membaca articel Fenomena “Uttaran” dan Tersanjung dalam Perspektif Neurosains (Ilmu Otak) dan articel ini url permalink yaitu https://adakabarterbaru.blogspot.com/2016/04/fenomena-uttaran-dan-tersanjung-dalam.html. Semoga artikel InformasiIslam dan Sains ini bisa bermanfaat.
Fenomena “Uttaran” dan Tersanjung dalam Perspektif Neurosains (Ilmu Otak)